Kuasa Tuhan Dibalik Air Sendang dan Ombak Pantai

Hari Raya Kenaikan Yesus Kristus yang jatuh kemarin aku rayakan bersama teman-teman 1 sekolahku di Malang Selatan. Sebut saja Sendang Purwaningsih, Donomulyo. Berbeda dengan Gua Maria yang sudah dikenal khalayak banyak seperti Puhsarang dan Sendangsono, tempat ini seperti sepi akan pamor. Terbenam dengan rimbunnya pepohonan lebat dan bebatuan yang kami setapaki sejauh 1 kilo dari lokasi pemberhentian bis. Namun itulah istimewanya. Kesenyapan dan kerimbunan yang menyergap Sendang ini serasa mendamaikan hati dan batin. Angin yang semilir merayap berhasil mengunci mulut ratusan teman-temanku dan mengarahkannya pada apa yang sedang dikenang dan dikurbankan di Altar Suci, yakni Kristus sendiri. Hanya saja apa yang aku rasakan ini terusik oleh teriknya matahari yang berusaha menyambar sejuknya udara di sini, sehingga berkali-kali aku dan beberapa temanku harus pindah ke tempat yang lebih sejuk dan rindang. Seperti biasa, berbekal kamera digital dan sepasang mata serta hati, aku tangkap memori-memori yang tak akan dapat dilupakan, bahkan saat berjumpa dengan perpisahan, andaikan.

Aku masih ingat beberapa kalimat yang diucapkan romo sewaktu khotbah. Kata-kata tentang peristiwa kenaikan yang dapat dilihat dari mata fisik dan sebuah misteri iman yang teramat besar di mata batin kita, seperti seakan membuktikan bahwa Yesus memang berkuasa atas langit dan Bumi, dibuktikan dengan perutusan para murid-muridNya untuk menyebarkan kabar gembira ke seluruh dunia, membaptis mereka semua Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, dengan didahului kiriman paket istimewa dari Yesus sendiri, yakni Roh Kudus kepada para murid-muridNya. Jujur memang aku akui, konsentrasiku lebih tertuju pada apa yang diomongin teman-teman di sebelah kananku, sehingga aku tidak begitu mengikuti misa dengan baik. Hehehe =D

Seselesainya misa, kami diberi kesempatan untuk berdoa di depan Gua Maria dan berfoto-foto ria. Entah kenapa aku tidak begitu tertarik untuk berdoa, namun karena dari dalam hati muncul rasa sungkan pada yang punya rumah, maka akupun memutuskan untuk berdiri di depan gua. Tidak berdoa, hanya berdiri dan mengkoneksikan hatiku pada Bunda. Aku berbicara pada beliau. Walaupun hanya komunikasi 1 arah, tapi bagiku berbicara sudah lebih dari cukup karena tidak ada keinginan dari hatiku sendiri untuk berdoa. Setelah rampung, aku menyempatkan diri memfoto gua dari dekat, selagi pengumuman tentang aturan-aturan di pantai yang akan kami kunjungi sedang berkumandang. Entah kenapa aku tidak begitu cemas dengan apa yang diumumkan, soal aturan-aturan, pantangan, dan sebagainya yang bersoal mistis. Aku lebih memilih memasrahkan segalanya pada Yang Di Atas dan BundaNya yang sudah menolong dan membimbingku dalam segala situasi.

Selagi menunggu temanku yang lagi berdoa dan membakar ujud pribadi, aku mampir ke sebuah sumur yang berada sedikit di bawah lokasi gua. Sumur, yang katanya dulu merupakan sendang, kemudian diberkati oleh romo setempat menjadi “air berkat” dan dibuatkan sumur sebagai wujud syukur mereka. Biar berkat mengalir dalam cairan tubuh, pikirku, aku ambil botol air mineral yang aku bawa, aku buang isinya yang masih separuh, dan aku isi dengan air sumur itu. Aku juga sempat membasuh muka dan tanganku dengan air tersebut, dan rasanya, wow, segar!! Tak heran alam yang begitu asri seperti itu akan menyajikan hasil dan berkat yang melimpah. Apa yang tersedia dari alam semata-mata merupakan pemberian dari Tuhan untuk digunakan sebaik-baiknya oleh penghuninya. Itu menurutku.

Temanku tadi sudah selesai berdoa. Datang kepada aku dengan mengeluh bahwa tangannya baru saja terkena api saat membakar kertas intensi. Aku hanya mengkapokkan dia sambil menawarkan air yang tersedia di sumur. Dia pun mengambilnya, sambil bercanda guyon tentang kandungan dalam air itu. Maklum, pikiran orang Biologi yang sudah makan ribuan halaman buku-buku berat. Tapi pandangannya tersebut berubah dalam waktu sekitar seperempat jam saat kita dalam perjalanan menuju lokasi pemberhentian bis. Dia bilang bahwa rasa sakit yang mendera tangannya gara-gara “kesumet” api tadi, hilang, setelah membasuh tangannya dengan air sumur tadi. Aku gak tahu apakah dia hanya bersugesti, atau memang mujizatnya datang sedikit terlambat, tapi aku hanya bilang bahwa itu hanyalah sekian dari karunia Tuhan yang tidak akan bisa dipecahkan oleh ilmu Biologi. Tuhan seperti semacam menunjukkan, bahwa DiriNya memang ada dan selalu hadir di sekitar kita, bahkan dari hal paling kecil yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Dalam hal ini, Tuhan berkarya melalui air sumur yang kami minum tadi. Syukurlah kalau begitu, ya kan?

Rekreasi kami pun dilanjutkan ke Pantai Ngliyep, sekitar 13 kilo dari lokasi gua. Dalam perjalanan, sekali lagi, antara mata hatiku dan mata kamera bekerja sama menangkap karya agung Tuhan sendiri dalam rupa keindahan alam yang tiada taranya. Tak seperti biasanya aku tidak begitu takut saat bis yang kami lalui melewati jurang. Dari situlah, manusia bekerja sama dengan alam untuk membuat jalan raya, yang menghubungkan antara 1 tempat ke tempat yang lain, menuju ciptaan Tuhan yang tak kalah indahnya. Rasa capek yang mendera tubuhku membuatku tertidur pulas, sampai tak menyadari bahwa kami sudah sampai di pantai. Di sana kami menghabiskan waktu dengan bersantai, berfoto ria sambil menikmati deburan ombak pantai Selatan yang terkenal ganas. Dari bibir pantai aku melihat gulungan ombak yang pasti tingginya lebih dari semeter, bermain-main dengan gulungan ombak yang lain sampai akhirnya celanaku basah karena terkena ombak. Hahaha seru memang. Menikmati karya Tuhan yang lainnya. Jika tadi di sendang aku merasakan sisi damainya alam, kini aku melihat kegananasan dan pemberontakkan yang dilakukan alam melalui ombak yang begitu besar menerjang apa saja yang dilalui. Aku sempat membayangkan bila ada kejadian tsunami, pasti tempat yang aku injak ini akan rata tak bersisa. Untung tak sampai jauh aku membayang, teman-temanku mengajakku menuju sisi lain pantai, yang ternyata jauh dari deburan keganasan ombak. Ternyata sebuah gunungan besar telah menghambat lagu ombak sehingga lokasi tersebut sangatlah tenang, cocok untuk berenang dan berendam di dalam air. Tapi karena aku tidak membawa baju ganti dalam, aku mengurungkan niatku untuk berendam. Sebagai gantinya, aku memfoto banyak hal di sana. Sayang waktu sudah semakin senja, dan kami pun harus kembali ke Malang. Aku lho padahal ngrasa di pantai ini baru sebentar, tapi kenapa sudah disuruh pulang? Hmmm itu mungkin sisi lainnya alam yang memberikan kenyamanan bagi kita sampai waktu pun kita lupakan.

Pulang ke rumah, aku memutuskan untuk diam dan kembali merenung akan besarnya kuasa Tuhan di semesta ini. Terlebih melihat sendang yang penuh kedamaian dan pantai yang penuh ambisi. Di balik itu semua, rasanya betul, Tuhan sedang bekerja untuk memulihkan hati manusia yang terluka karena hidup, memberikan kelegaan bagi mereka yang rindu akan kedamaian, serta kesadaran bagi mereka yang telah meninggalkanNya, dengan sedikit mujizat di alam yang kita tinggali ini. Seganas apapun yang terjadi, itulah kuasa Tuhan, yang menyadarkan kita akan betapa dahsyat kuasaNya. Sudah layak kita sujud menyembahNya, karena Dialah Raja Segala Raja, kini dan sepanjang masa. Amin.

 

R.M.T.B.D.J.

Tinggalkan komentar